Senin, 26 Juli 2010

Benarkah Lampung Selatan Tidak Lagi Miskin?

Beberapa hari ini, disejumlah media cetak local, bertaburan ucapan selamat atas naiknya derajat lampung selatan menjadi kabupaten yang tidak lagi miskin atau tertinggal. Sebuah prestasi besar, jika keberhasilan itu ini adalah fakta.

Tapi apakah benar? Kabupaten paling ujung timur pulau sumatera ini tidak lagi tertinggal? Seperti tahun-tahun sebelumnya? Apakah yang menjadi ukurannya?


Sejak tahun 2007 yang lalu, lampung selatan masuk dalam 183 kabupaten tertinggal di Indonesia. Dan menjadi salah satu Dari 5 kabupaten tertinggal yang ada di provinsi Lampung, setelah Lampung Barat, Lampung Timur, Way Kanan dan Lampung Utara.

Setidaknya, ada 7 indikator yang digunakan untuk menilai sebuah kabupaten/kota dinyatakan sebagai daerah tertinggal. Pertama, melihat tingkat kemiskinan penduduknya, indicator ini menjadi yang utama. Indikator lain, sumber daya alam dan manusianya. keuangan daerah, akuntabilitas, dan kesehatan.

Dan 3 tolak ukur yakni, daya struktur, daya masyarakat, dan daya koordinasi.

Daya koordinasi yang dimaksudkan adalah koordinasi lintas-sektor yang mencakup program pembangunan antar sektor, antar daerah, dan pembangunan khusus. Dalam pelaksanaannya ketiga daya tersebut harus dlakukan secara terpadu, terarah, dan sistematis.

Rakyat diberi ruang dan kesempatan yang lebih besar untuk berpartisipasi dan bersinergi dalam pembangunan dengan upaya menanggulangi pengangguran, kemiskinan, dan ketidakmerataan.

Apakah sejumlah indicator dan tolak ukur tersebut sudah benar diterapkan di lampung selatan? Sehingga berdampak pada naiknya derajat kabupaten ini, menjadi tidak lagi tertinggal dan tidak lagi miskin?

Kemiskinan adalah momok, kemajuan sebuah daerah pertama diukur dari, apakah masyarakatnya miskin atau kaya. Mampu atau tidak mampu memenuhi kebutuhan utama hidupnya, dengan ketersediaan sandang papan dan pangan yang mencukupi?

apakah sejauh ini hampir sejuta penduduk lampung selatan, sudah bisa membeli dan memenuhi 3 kebutuhan utama tersebut dengan mudah? itu hanya bisa dijawab ketika kita bertanya langsung kepada para petani gurem, buruh, dan puluhan ribu orang yang kini masih menganggur.

Kaya atau miskin sesungguhnya, tidak hanya diukur dengan angka-angka, pertumbuhan ekonomi dan ukuran-ukuran simbolis saja, pengumpulan fakta dilapangan harus dilakukan, oleh pemerintah untuk mengetahui kemiskinan sesungguhnya mengelayuti masyarakat.

Sumber daya alam yang berlimpah dikabupaten ini, sudah dibarengikah dengan manusia cerdas yang bisa mengelola kekayaan tersebut? kita lihat, apakah sumber daya alam yang dimiliki kabupaten ini sudah memberikan kontribusi konkret untuk membuat rakyatnya sejahtera?

Belum termanfaatkannya sumber daya alam, berdampak tidak langsung pada pendapatan asli daerah, yang hingga belum juga meningkat, tapi justru sebaliknya. Pemerintah kabupaten hanya mengandalkan dana-dana dari pusat.

PAD kabupaten ini begitu kecil, hanya puluhan milyar, sementara perbandingan belanja pegawai dengan belanja pembangunan infrastrukrut bagai langit dan bumi. APBD lampung selatan tahun 2010 yang nyaris mencapai 1 triliyun, belanja infrastruktur dan pembangunan lainnya tidak lebih dari 200 milyar saja.

Dari angka tersebut, apakah sebuah kabupaten dengan sumber daya manusia peduli yang masih sangat sedikit, serta dengan jumlah penduduk dan wilayah yang luas, bisa membuat rakyatnya sejahtera dan bisa bangkit dari kemiskinan?

Berjuta pertanyaan pasti keluar dari kepala kita? Sinisme, dan kebanyakan kita pasti pisimis.

Berapa pendapatan perkapita masyarakat lampung selatan hingga detik ini, belum ditahu pasti, pemkab belum pernah mengumumkan secara resmi, berapa rupiah rata-rata pendapatan diterima perbulan. tapi bisa dipastikan pendapatan perbulan kebanyakan penduduk lampung selatan kurang dari Upah Minimum Regional Provinsi Lampung sebesar Rp. 691.000,- tahun 2009.

Ditambah dengan pelayanan public dan kesehatan yang masih jauh dari harapan, contoh kecil, pembuatan kartu tanda penduduk saja, membutuhkan waktu lama dan dengan biaya diluar yang tak seimbang.

Jaminan kesehatan masyarakat yang digaungkan gratis, ternyata belum benar-benar meringankan beban masyarakat tak mampu, mereka tetap merogoh kocek untuk membeli obat-obatan diluar daftar obat yang digratiskan. Kebanyakan tenaga kesehatan memberikan resep obat non generic, karena obat generic gratis, tidak tersedia.

Jika ditilik dari 7 indicator tersebut, saya rasa kita harus menjawab dengan jujur, kesemuanya masih bercokol di kabupaten ini, dan belum menunjukkan pergerakan maju. Dan ini juga berdampak gagalnya 3 daya yang akan berjalan jika sejumlah indicator dimaksud berjalan sempurna.

Kita tidak tahu pasti, apa yang sebenarnya terjadi. predikat dari kabupaten tertinggal (miskin) dan menjadi kabupaten tidak yang tidak lagi tertinggal (tidak lagi miskin) yang ucapan selamatnya masih terbit dimedia cetak, apa itu realita?

Yang jelas, jika itu adalah kenyataan dan benar-benar terjadi bahwa kabupaten ini tidak lagi miskin, maka kita patut berbangga hati. Tetapi sedikit ada kekhawatiran, jika ini hanya sebuah cara meraih simpati warga jelang pilkada. Dan jika hal ini yang benar terjadi, dimungkinkan akan menjadi boomerang, karena yang tahu pasti apakah dia miskin atau tidak, adalah masyarakat lampung selatan sendiri, bukan pemerintah.



Sumber :
KHAIRULLAH AKA
http://umum.kompasiana.com/2010/04/28/benarkah-lampung-selatan-tidak-lagi-miskin/
28 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar