Senin, 26 Juli 2010

Menggagas Landmark Way Kanan

Keberadaan penanda wilayah (landmark; tetenger (jw)) bagi suatu kota akan menjadikan kota itu lebih mudah diingat publik. Lebih jauh, landmark menjadi cerminan sekaligus spirit kota yang dapat dibaca dalam retorika kebudayaan (lokal). Beberapa kota—di Indonesia maupun dunia—secara relatif telah memiliki landmark yang dengan segera mengingatkan publik akan kota tersebut. Seperti Tugu Monumen Nasional (Monas) di Jakarta—di samping Tugu Selamat Datang atau Bundaran Hotel Indonesia (HI), Tugu Muda di Semarang, Tugu Pahlawan di Surabaya, Patung Singa lengkap dengan air mancurnya di Orchard Road Singapura, Menara Petronas di Kuala Lumpur, Patung Liberty di Amerika Serikat maupun kubah keong Sydney Opera di Sidney sebagai misal.

Beberapa landmark ini tidak selalu gigantis, seperti Patung Singa di Singapura, Tugu Muda di Semarang maupun Tugu Pahlawan di Surabaya bentuknya hanya kecil saja. Namun, siapapun sepakat bahwa tanpa landmark yang sudah demikian branded ini, keberadaan Singapura lebih sulit untuk dikenang oleh persepsi publik tanpa mengingat Patung Singa yang kecil saja itu. Way Kanan sebagai kabupaten yang sedang membangun retorika citra kota perlu berpikir untuk mendesain sebuah landmark sebagai penanda kotanya. Tak hanya Way Kanan, karena provinsi dan kabupaten/kota di Lampung sendiri belum banyak memiliki landmark. Sebelum membangun menara suar berbentuk siger di Bakauheni, Lampung belum memiliki landmark yang representatif. Tugu Gajah di bundaran kota Bandar Lampung atau Patung Radin Inten II di Rajabasa sebelumnya memang dianggap sebagai landmark, namun Menara Suar Siger di Bakauheni-lah yang mampu merebut imaji publik sebagai penanda wilayah Lampung.

Masyarakat Way Kanan dapat mengeksplorasi, misalnya motif tenun tapis khas Way Kanan, bentuk rumah adat (nuwo sesat), atau perilaku bertani masyarakat. Namun landmark tidak melulu harus berbentuk klasik. Landmark pun dapat berbentuk kontemporer, dan hendaknya bersifat fungsional. Landmark tidak harus berujud tugu atau benda-benda yang memang dirancang sebagai penanda semata. Justru landmark yang dipersepsi publik dari bangunan-bangunan yang memang memiliki kegunaan tertentu—semisal teater di Garuda Wisnu Kencana (GWK) Bali; gedung perkantoran seperti World Trade Centre (WTC) New York maupun Menara Petronas; gedung instansi pemerintahan sebagaimana White House di Washington DC, Gedung MPR/DPR maupun Gedung Bundar Kejagung; atau sebagai monumen seperti Monas—akan memiliki manfaat yang langsung dapat dirasakan publik. Dalam konteks Way Kanan, landmark yang hendak dibangun lebih tepat memiliki fungsi sebagai ruang terpuka (open space) berbentuk teater terbuka (open theatre) bagi kegiatan-kegiatan kebudayaan.

Potensi Way Kanan

Sebuah landmark selain sebagai sebuah kesatuan-bangun juga harus mencerminkan spirit, potensi, atau lokalitas sebuah kota yang hendak diidealkan sebagai keunggulan komparatif sekaligus keunggulan kompetitif. Soal bentuk misalnya, masyarakat Way Kanan perlu berpikir bentuk selain gajah, ikon Lampung yang telah mendunia. Meski berada di wilayah Provinsi Lampung, secara relatif kawanan gajah (liar) tidak banyak membangun ekosistem di wilayah Way Kanan. Dalam catatan yang ada, gajah Lampung banyak hidup di wilayah Lampung Barat, atau Lampung Timur.

Saat ini setidaknya terdapat tiga landmark Way Kanan, yakni Patung dan Taman Ryacudu di Blambangan Umpu, Tugu berornamen gading di Simpang Empat, serta Tugu berbentuk perahu dan taman di Baradatu. Secara relatif, Taman Ryacudu dapat disebut sebagai landmark yang representatif, dilihat dari luasnya, komposisi bentuk, termasuk prasasti yang menjelaskan sosok Ryacudu. Sedang tugu berbentuk perahu di Baradatu masih perlu diberi beberapa pelengkap karena selain lokasinya yang lebih sempit, juga perlu diberi pengantar (semacam prasasti) sebagaimana Taman Ryacudu. Beberapa hal yang perlu dijelaskan kepada publik misalnya, jenis perahu tersebut, apakah salah satu jenis perahu tradisional atau perahu estetik saja. Kemudian replika buah (kelapa sawit atau durian?) di dalam perahu, perlu diberi keterangan tambahan, mengapa komoditas itu yang di-display, bukan lada atau kopi. Selama ini Way Kanan dikenal luas sebagai penghasil komoditas lada dan kopi. Dihitung dari jumlah produksi, komoditas kopi misalnya menyumbang 13.355 ton/tahun (waykanan.go.id: 2006), sedang kelapa sawit hanya menyumbang 8.266 ton/tahun. Kemudian patung laki-laki dan perempuan, sebaiknya digambarkan mengenakan pakaian khas Way Kanan, baik itu pakaian adat atau pakaian sehari-hari masyarakat. Bila dilihat sekilas, tokoh perempuan dalam patung seperti mengenakan kebaya, satu jenis tradisi sandang yang dikenal luas berasal dari Jawa. Bila kebaya ini dimaksudkan sebagai manifestasi akulturasi yang memang berlangsung baik di Way Kanan, kiranya penjelasan dari prasasti tugu dapat menjabarkannya.

Memang sebuah landmark bukan infrastuktur fisik yang dampaknya akan terasa langsung oleh rakyat—seperti jalan, fasilitas umum dan fasilitas sosial. Namun, bila kita hitung dampak-ikutannya (multiflier effect), keberadaan landmark baru terasa kemudian. Di sektor ekonomi, landmark akan menjadi gula-gula ekonomi baru yang mengundang bangkitnya investasi termasuk investasi sektor ekonomi nonformal bila landmark itu sekaligus dijadikan kawasan kunjungan wisatawan. Secara politik dan kultural, keberadaan landmark akan menyajikan citra (image) kota yang menegaskan keberadaan kota dalam pergaulan antarkota baik di wilayah regional, nasional, maupun global. Sehingga, pembangunan sebuah landmark yang dilakukan secara kritis dan tidak korup tentulah bukan sebuah proyek mercusuar semata.

Febrie Hastiyanto; Penulis lahir dan dibesarkan di Way Kanan. Saat ini bekerja pada Bappeda Kab. Tegal Jawa Tengah.

Dimuat dalam Lampung Post, Sabtu 10 Oktober 2009

Sumber :
http://hastiyanto.wordpress.com/2010/06/23/menggagas-landmark-way-kanan/
23 Juni 2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar